Wednesday, March 24, 2010

Remah remah yang tercecer - Cerita backpacking (1)


TANGIS TERTAHAN DI DESA CIMARINJUNG

Bagi saya, melakukan perjalanan secara backpacking tidak melulu mengunjungi tempat tempat wisata yang sudah terkenal. Namun pengalaman menyerap dan interaksi dengan atmosfir lokal yang justru jauh lebih menarik untuk dirasakan karena sejatinya setiap tempat memiliki daya tarik masing masing.
Adalah bapak yang menyemai benih benih kecintaan saya akan backpacking puluhan tahun silam. Duduk lesehan menikmati sarapan di atas trotoar. Hanya beralaskan tikar lusuh. Lantas dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri hutan kecil menuju desa Parakan, desa dimana bapak dibesarkan. Sarapan pagi dengan nasi jagung, makanan harian masa kecil bapak.

Itulah pertama kalinya perjalanan kami, saya dan bapak ke desa Parakan sewaktu saya masih di bangku Sekolah Dasar.

Pengalaman pertama yang begitu melekat hingga kini.

Semenjak itu saya mulai tertarik dan berlanjut dengan jatuh cinta melakukan perjalanan dengan cara yang menurut ibu saya “cari sengsara”. Semula memang tidak mudah mendapatkan ijin dari ibunda. Seiring dengan berjalannya waktu dan dengan berbagai pertimbangan, restu itupun terucap juga akhirnya.

Satu persatu untaian perjalanan dan kejadian kejadian unik yang menyertai perjalan tersebut tergambar jelas di benak saya.

Salah satu dari sekian banyak pengalaman yang tidak bisa saya lupakan adalah pengalaman berbackpacking sendirian di daerah Ujung Genteng Jawa Barat. Tak jauh dari sana ada air terjun Cimarinjung di desa Ciemas Jawa Barat. Meskipun dekat dengan Ujung Genteng, untuk mencapai desa tersebut dibutuhkan waktu tiga jam naik ojek. Ini dikarenakan jalannya yang berupa makadam sudah amat sangat rusak. Naik kendaraan roda empat amat tidak mungkin kalau tak ingin kendaraannya ambrol dan rusak.

Jalan yang naik turun dan bopeng disana sini membentuk kubangan dimusim hujan dan berubah menjadi perangkap kendaraan di musim kemarau. Menurut penuturan penduduk setempat, jalanan sempat diperbaiki menjelang kampanye beberapa tahun silam.
Usai pemilu, usai pula para caleg menarik simpati. Habis manis sepah dilepeh.

Matahari sedang terik teriknya sesampainya saya di air terjun yang ternyata sangat sepi. Sambil menunggu matahari tergelincir di ufuk Barat saya nongkrong di sebuah rumah yang juga sebuah warung rokok tak jauh dari air terjun tersebut. Bersama tukang ojek yang setia menunggui saya.

Jangan dibayangkan rumah tembok. Ini kawasan terisolir dan jalan di depannya berupa tanah. Rumahnya berdinding anyaman bambu. Dapur sederhana berbahan baku kayu bakar berada di luar. Bersebelahan dengan dapur adalah kamar mandi yang tak berpintu. Hanya berupa selembar kain usang. Namun begitu, airnya begitu segar dan jernih, langsung mengalir dari mata air dan tanpa henti.

Beberapa tahun silam, beberapa peleton tentara mengadakan latihan di desa itu. Rumah itu menjadi pemasok air untuk rombongan tentara tersebut selama tiga bulan. Dalam sehari mereka menggunakan 50 tangki air yang dipasok dari mata air tersebut.

Rumah sederhana itu ditinggali oleh seorang ibu dan seorang anak lelakinya. Lincak bambu menghampar didekatnya dimana saya duduk dan ditemani oleh sang ibu. Cemilan ringan dan jejeran minuman bersoda yang jumlahnya tak lebih dari jari tangan dan hanya ditahan oleh seutas kawat memenuhi jendela kaca depan yg tidak begitu besar.

Saya membeli krupuk yang dijual di rumah warung tersebut untuk meredakan cacing cacing di perut yang mulai memberontak. Adanya cuma itu. Tetapi mata saya mendapati adanya pohon kelapa dihalaman depan.

“ibu, boleh saya memesan kelapa?” pinta saya pada pemilik rumah yang dibalas dengan tatapan aneh.

Mereka menjual minuman ringan tapi justru saya meminta kelapa.
Meskipun begitu, mereka bersedia memetikkan untuk kami.

Dua butir kelapa muda terhidang di depan hidung. Satu untuk saya dan satu untuk pak ojek. Tak ada sedotan. Diglogok begitu saja. Segarrrr sekali mengalir ke tenggorokan.

Wajah si ibu yang yang keriput berbalut senyum dengan sorot matanya yang menyejukkan menebarkan keramahan tulus. Betah saya berlama lama berada di dekatnya meskipun coletahannya hanya mampu saya cerna sedikit. Ini dikarenakan si ibu berbahasa Sunda dan saya tidak menguasai bahasa Sunda.

Saya sudah menjelaskan berkali kali kalau saya tidak mengerti. Tetapi rupanya beliaupun tidak mengerti bahasa Indonesia. Jadilah saya pendengar yang baik, manggut manggut sambil cengar cengir. Sesekali saya tanggapi dengan “oh…oh…” seolah olah saya mengerti. Terkadang, tukang ojek yang sedang nongkrong diluar dan ngobrol dengan beberapa penduduk membantu menterjemahkan. Sesekali si ibu ke dapur, ke kamar atau ke pojok ruangan yang mungil itu untuk mengerjakan ini dan itu sambil tetap berceloteh.

Terbuai oleh semilir angin yang berhembus, tanpa sadar sayapun jatuh tertidur menggelosor di atas lincak bambu itu. Di tengah tidur yang tidak sepenuhnya pulas itu saya merasa diselimuti dan disorongin bantal oleh si ibu. Masya Allah. Diam diam saya menangis dalam hati mendapati perhatian kecil yang tulus itu.
Saudara bukan, teman apalagi, kenal juga baru saat itu.

Tidak berhenti sampai disitu. Seusai memotret air terjun dan hendak melangkah pulang mereka meminta saya menikmati makan sore yang sudah terhidang di meja makan. Saya sungkan untuk menolaknya dan mereka juga tidak mau diberi uang.
Nasehat yang pernah saya dengar, jangan pernah menolak tawaran makan penduduk lokal, nanti mereka tersinggung.

Menunya sederhana, berupa nasi yang baru selesai masak. Asapnyapun masih mengepul hangat. Ditemani oleh lauk ikan pindang dengan kondimen garam dan irisan cabe. .
Meskipun sederhana saya makan dengan lahap dan nikmat sekali.

Seusai makan, melalui bapak ojek sebagai penterjemah si ibu menawari saya bermalam di rumahnya karena kasihan dengan saya. Perempuan jalan sendiri dan masih harus menempuh perjalanan jauh di tengah malam. Waktu itu sudah menjelang Maghrib dan itu artinya saya masih harus menempuh perjalanan naik ojek selama tiga jam untuk kembali ke penginapan. Melewati hutan dan beberapa desa.

Dengan amat berat hati terpaksa saya menolak tawarannya karena barang barang saya ada di penginapan. Bodohnya saya, tak terpikir untuk menanyakan nama si ibu itu.

Perjalanan pulang ke penginapan, kami melewati jalan pintas karena laut sedang pasang sehingga bisa diarungi perahu. Lumayan menghemat waktu perjalanan. Motor dinaikkan ke perahu. Bukan perahu besar tetapi perahu kecil yang hanya bisa memuat lima orang. Motornya nangkring di depan. Itupun ban belakangnya saja sedangkan ban depannya mendongak menantang langit.

Sesampainya di penginapan hari sudah larut, mungkin jam sembilan lebih dan tentunya nggak ada warung makan yang buka. Saya mulai lapar lagi.

Lagi lagi saya ketiban rezeki. Pemilik penginapan yang juga seorang nelayan menawari saya untuk makan. Nggak mau dibayar. Menu makannya adalah hasil tangkapan mereka hari itu. Besok paginya lagi lagi saya diajak sarapan bareng. Sudah seperti keluarga sendiri.


Usai sarapan, saya meneruskan perjalanan ke tujuan berikutnya. Rupanya keberuntungan saya masih berkelanjutan. Salah satu rombongan tamu penginapan juga bertujuan sama. Mereka menawarkan tumpangan untuk saya. Alhamdulillah.